Jumat, 05 Februari 2016

SUSUNAN DAN PERSONALIA


Lampiran  : SURAT KEPUTUSAN PENGURUS PGRI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA BARAT
Nomor     : 08/SK/PGRI/JB/I/2016
Tanggal     : 07 Januari 2016
Tentang      :
SUSUNAN DAN PERSONALIA
PENGURUS PGRI CABANG CENGKARENG
MASA BAHTI 2015 -2020

I.           Pengurus Harian
1.      Ketua                                                      :    Drs. H. Zainal Abidin
2.      Wakil Ketua                                            :    Amun, MM.Pd.
3.      Sekretaris                                                :    Afit Fatimah, M.Pd.
4.      Wakil Sekretaris                                      :    H. Satimin, MM.
5.      Bendahara                                               :    Dra. H. Roro Yuni, M.Pd.

II.           Sekretaris Seksi
1.      Organisasi dan Kaderisasi                       :    Rosikin, S.Pd.
2.      Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan       :    Drs. M. Yamin, M.Pd.
3.      Komunikasi dan Informasi                       :    Hj. Dwi Agustini
4.      Penelitian dan Pengembangan                 :    I Ketut
5.      Pendidikan dan Pelatihan                        :    H.Mustadi, M.Pd.
6.      Kerjasama Pengembangan Usaha           :    Ir. Ade Wira Darmanto
7.      Kerohanian                                            :    H. Zailani, MM.
8.      Pemberdayaan Perempuan                     :    Hj. Maemanah
9.      Pembinaan Karier dan Profesi                :    Satrio
10.  Pengembangan Seni Budaya                   :    Beti
11.  Pengabdian Masyarakat                          :    Juhaeriah
12.  Advokasi dan Perlindungan Hukum         :    M. Arif Yamin, S.Pd, M.Si.
13.  Hubugan Antar Instansi                           :    Rohmadi, M.Pd.
14.  Olahraga dan Generasi Muda                 :    Triyatno, MM.

                                                                      Jakarta, 07 Januari 2016

PENGURUS PGRI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA BARAT
Ketua.                                                                                           Sekretaris,

                                 Ttd.                                                                                               Ttd.

Drs. H. Samlawi, MM.                                                                    Drs. H. Satiman, MM.

Guru, dulu dan kini

KONON, ketika Jepang hancur lebur setelah dibom Sekutu dalam Perang Dunia II, pertama-tama yang ditanyakan pihak penguasa (Kaisar), “Berapa guru yang masih hidup?” Pertanyaan ini menunjukkan bahwa guru memegang posisi yang sangat penting dalam membangun negara yang telah hancur itu. Ternyata benar.

Dengan bermodalkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas kini Jepang menjadi negara maju di Asia walau miskin sumber daya alam. Majunya Jepang tentulah karena guru (pendidikan) diberikan perhatian yang begitu besar dalam membangun kembali negeri Sakura itu.
Bagaimana keberadaan guru di negara kita? Secara administrasi, kualifiasi guru maupun dosen umumnya sudah memenuhi persyaratan. Tetapi, mengapa dikatakan mutu pendidikan kita ada di tataran bawah di antara negara ASEAN? Ada informasi, dulu Malaysia belajar dari Indonesia, sekarang Malaysia lebih makmur, lebih maju pendidikannya? Kini justru Indonesia belajar ke Malaysia dengan mengirim gurunya ke situ, baik untuk belajar maupun kunjungan singkat dalam menambah pengetahuan dan wawasan para guru. Melihat mutunya, tentu ada yang salah dalam pengelolaan pendidikan di negara kita.
“Pahlawan tanpa tanda jasa” suatu ungkapan klasik, namun tetap menarik untuk diperbincangkan sampai kini lebih-lebih pada peringatan “Hari Guru” (25 November). Betapa tidak, dengan predikat ini seolah guru sudah berkecukupan hidupnya. Nyatanya sebagian besar guru seolah sudah siap mental untuk hidup melarat. Karena itu banyak guru kita mengambil pekerjaan sampingan; menjadi guru honor di sekolah swasta, ikut memberi les yang dibuka pihak swasta, bahkan ada yang mengambil pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan, misalnya makelar – kalau bukan petani/peternak.
Ki Supriyoko (2002), pernah menyimpulkan dari suatu diskusi bahwa kita harus mengakui jeleknya kinerja pendidikan nasional yang tidak dapat disembunyikan. Salah satu di antaranya faktor tenaga kependidikan khususnya guru dan dosen amat memprihatinkan. Banyak guru yang tidak menguasai bahan ajar termasuk metodelogi dan strategi pembelajaran. Mereka hanya mengajar bukan mendidik. Hal senada juga dikatakan Andrias Harefa (2005) dalam bukunya Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup.
Dari hasil kesimpulan Ki Supriyoko, para guru perlu merenung kalau ingin memperbaiki dunia pendidikan. Kesimpulan itu tentu bukan sekadar pernyataan. Terpuruknya bangsa Indonesia seperti sekarang ini dapat dijadikan indikasi rendahnya mutu pendidikan, misalnya mudahnya masyarakat diprovokasi, kerupsi melanda kalangan birokrat dan politikus. Bangsa ini “sakit”, tidak jelas kapan akan sembuh.
Kalau ditelusuri penyebabnya tidak lain dari sistem pendidikan yang kurang membentuk karakter bangsa, melupakan proses pembelajaran yang bermakna untuk pembudayaan kemampuan dan sikap mental yang bisa membangun dirinya. Terobosan yang diambil sebagian lembaga pendidikan (sekolah) mirip seperti jalan pintas, demi tercapainya tujuan jangka pendek (nilai ujian) serta kurang membentuk insan yang siap membangun dirinya sendiri. Akhirnya, tamatan lembaga pendidikan kita selalu menggantungkan diri pada pihak lain – untuk menjadi kuli. Yang bisa menciptakan lapangan kerja hanya sebagaian kecil. Yang lebih menyedihkan, para penyandang predikat ‘intelektual’ tidak sedikit yang menjadi otak perilaku brutal, misalnya dalam pilkada.
PGRI mewadahi kaum guru dalam upaya mewujudkan hak-hak asasinya sebagai pribadi, warga negara, dan pengemban profesi. Namun, kinerja guru memang tidak lepas dari sistem yang menjadi keputusan pemerintah, di pusat maupun di daerah. Untuk itulah organisasi guru (PGRI) diharapkan berperan banyak dalam membenahi kinerja guru sehingga bisa menghasilkan SDM yang berkualitas baik dari sisi penguasaan ilmu, budaya kerja, maupun sikap mental. Memang aksi ke arah seperti itu ada. Menurut Ketua PGRI Pusat, Mohambad Surya, kemandirian guru sebagai salah satu syarat bagi terwujudnya kinerja pendidikan nasional, merupakan kepedulian utama organisasi guru (Surya, 2003). PGRI merupakan wadah rasa kesejawatan para guru untuk melakukan kegiatan bersama dalam mencapai kepentingan dan tujuan bersama; kepentingan pendididkan nasional maupun profesionalisme guru.
PGRI mempunyai peranan strategis dalam reformasi pendidikan nasional. Kepada anggotanya PGRI berperan dan bertanggung jawab untuk memperjuangkan dalam upaya mewujudkan serta melindungi hak-hak asasi dan martabat guru khususnya dalam aspek profesional dan kesejahteraannya. Untuk itu, PGRI mengupayakan penggalangan persatuan dan kesatuan para guru, meningkatkan kualitas profesionalisme, dan secara konsisten terus memperjuangkan kesejahteraan para guru. Sebagai mitra pemerintah dan masyarakat, PGRI berperan untuk menyukseskan terwujudnya pendidikan nasional yang efektif. PGRI memberikan masukan, evaluasi, koreksi secara konsepsional-profesional kepada pemerintah dan masyarakat (Surya, 2003).
PGRI sebagai organisasi ketenagakerjaan merupakan wadah perjuangan hak-hak asasi guru sebagai pekerja terutama dalam kaitannya terwujudnya kesejahteraan di samping pengembangan profesionalisme. Guru sebagai kelompok tenaga kerja profesional juga memerlukan jaminan yang pasti yang menyangkut hukum. Sayang, sampai kini kondisi seperti itu masih berupa harapan. Akankah semua ini akan terwujud setelah undang-undang guru dan dosen disahkan? Ternyata, sebelum diberlakukan sudah menimbulkan pro dan kontra sebab undang-undang itu baru menyangkut guru yang berstatus PNS. Jika undang-undang jadi diberlakukan, akankah kesejahteraan guru menjadi lebih baik? Akankah pemerintah memiliki anggaran yang cukup? Selama ini kendala untuk mensejahterakan guru pastilah alasan klasik, negara tidak punya dana untuk itu. Alasan lainnya, jumlah guru paling banyak di antara PNS.
Oleh: arixs